Model Apakah Pendidikan Swedia Relevan untuk Indonesia?
Sampai di sini mungkin Anda akan bertanya-tanya apakah di Swedia benar-benar tidak ada sekolah swasta sehingga tidak ada sama sekali sekolah yang berbayar? Jawabannya ada. Baik sekolah lokal maupun sekolah internasional ada yang dimiliki oleh pemerintah dan ada pula yang dimiliki oleh swasta. Namun, kebanyakan sekolah swasta di Swedia sudah mendapatkan pendanaan publik, sehingga siswa tidak lagi dibebankan kunjungi biaya pendidikan. Hanya tersisa sedikit saja sekolah swasta yang masih mengenakan tuition fee kepada muridnya sehingga sekolah-sekolah tersebut menjadi pilihan yang sangat tidak populer. Ya untuk apa bayar sekolah mahal-mahal jika yang gratis saja kualitasnya sama saja bukan? Kondisi ini berbanding terbalik dengan Indonesia di mana orang tua berlomba-lomba dan bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah mahal demi mendapatkan mutu pendidikan yang lebih baik.
Kita bisa bersepakat bahwa pemerataan pendidikan yang berkualitas dan bisa diakses semua kalangan adalah hal yang sangat penting untuk menyelesaikan masalah terbesar sebuah negara, yaitu kemiskinan dan kesenjangan sosial. Kita juga tidak perlu menafikan bahwa Indonesia juga sudah berusaha menjalankan amanat Education for All alias Pendidikan Untuk Semua (PUS) dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) itu. Namun, bisakah kita berharap bahwa suatu hari nanti pelaksanaan PUS ini bisa sejauh apa yang dilakukan di Swedia?
Dalam hal mengadaptasi kurikulum sepertinya bukan hal yang terlalu sulit. Namun realisasinya di mana dibutuhkan tenaga pengajar yang mumpuni serta menyediakan fasilitas pendukung yang diperlukan tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jangankan untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar bisa setara dengan sekolah bertaraf internasional, untuk menjaga mutu pendidikan yang sudah baik secara nasional saja ternyata dananya masih kurang.
Di SMK negeri tempat ibu saya mengajar misalnya, Beliau bercerita bahwa sekolahnya tersebut sudah mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tidak boleh memungut biaya lagi dari siswanya. Sayangnya, bantuan tersebut tidak cukup untuk membiayai beberapa praktikum, alhasil praktikum tersebut ditiadakan. Kita dihadapkan pada realita bahwa kualitas pendidikan harus berkompromi dengan ketersediaan dana. Ditambah kondisi Indonesia dengan luas wilayah yang begitu besar serta jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa (27 kali lipat lebih banyak daripada masyarakat Swedia yang hanya sekitar 10 juta jiwa), semakin banyak lah dana serta waktu yang dibutuhkan untuk pemerataannya kelak.
Lalu dari mana Swedia mendapatkan uang untuk mewujudkan pendidikan gratis berkualitas yang merata di semua jenjang pendidikan itu? Jawabannya tentu saja pajak. Pajak penghasilan terendah yang ditarik oleh pemerintah Swedia dari warganya adalah 29%, namun kebanyakan warga di sini membayarkan pajak 49%-60% (tergantung dari besar pendapatannya). Sementara besar pajak penghasilan di Indonesia berkisar antara 5%-30% saja. Kalau begitu, kenapa tidak naikkan saja pajak penghasilan di Indonesia? Eits, enak saja! Warga Swedia dengan senang hati membayar pajak meski jumlahnya sangat besar karena manfaat dari pajak yang mereka bayarkan benar-benar kembali kepada mereka.