Pendidikan Integral yang Membebaskan ala Muhammadiyah
Lebih dari seratus tahun yang lalu, Muhammadiyah memulai gerakannya untuk melawan kondisi sosial keagamaan masyarakat di sekitarnya. Ahmad Dahlan mengamati bahwa mentalitas masyarakat yang fatalistik sering kali mengarah pada praktik mistis dan supranatural, yang ia anggap sebagai akibat dari minimnya ilmu pengetahuan. Perilaku TBC atau ‘Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat’ yang mengakar dalam masyarakat pada saat itu menjadi perhatian penting bagi Dahlan.
Solusi untuk permasalahan tersebut adalah pendidikan. Masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menghadapi tantangan hidup. Hal ini klik disini berhubungan tidak hanya dengan kehidupan individu yang berinteraksi dengan alam, tetapi juga sebagai makhluk sosial yang berhubungan dengan sesama manusia.
Manusia memiliki tanggung jawab di muka bumi. Untuk melaksanakan tugasnya secara baik dan amanah, mereka memerlukan alat penunjang, yaitu ilmu pengetahuan. Sebagai khalifah, manusia dituntut untuk memahami dan menguasai alam semesta. Tanpa ilmu pengetahuan, akan sulit untuk mengatasi tantangan yang dihadapi.
Pada masa itu, masyarakat merasa kalah terhadap lingkungan, kolonialisme, dan kondisi alam. Ketidaktahuan mereka tentang lautan membuat mereka menganggap ombak besar sebagai bahaya dan mengatasi dengan cara yang tidak tepat, seperti menghanyutkan buah-buahan dan hewan ternak sebagai sesajen penolak bahaya. Kebiasaan ini berlanjut dan membudaya. Untuk mengubah situasi ini, diperlukan upaya untuk mentransfer ilmu pengetahuan melalui pendidikan.
Ahmad Dahlan berupaya merekonstruksi perilaku menyimpang dalam masyarakat. Tahun 1910 menjadi awal langkah Ahmad Dahlan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang mengintegrasikan ajaran agama dengan pengetahuan umum. Model pendidikan integral ini menghadapi tantangan dari masyarakat yang menentang kolonialisme dan memiliki pandangan keislaman yang konservatif.
Pendekatan pendidikan yang diterapkan Ahmad Dahlan adalah pendidikan integral, yang tidak hanya mencakup pendidikan agama tetapi juga penguasaan pengetahuan umum. Ia tidak serta-merta menganggap semua hal yang berasal dari Barat sebagai negatif; sebaliknya, Ahmad Dahlan melihat kemajuan Barat dari perspektif ilmu pengetahuan sebagaimana yang bisa diterapkan untuk merekonstruksi kondisi sosial-keagamaan saat itu.
Metode yang digunakan mencakup pembelajaran kontekstual. Ketua Umum PP Muhammadiyah sering membahas tiga prinsip dalam penerapan ajaran Islam dan nilai-nilai Kemuhammadiyahan, yaitu bayani, irfani, dan burhani, yang berarti referensi selalu pada teks dan konteks. Dalam pendidikan, pembelajaran dilandasi teori ilmu pengetahuan dengan kemampuan literasi yang relevan, sehingga pelajar dapat memahami apa yang mereka pelajari. Ahmad Dahlan sering mengajarkan kepada muridnya untuk menerapkan makna dari Al-Qur’an dalam Surat Al-Ma’un dengan cara kontekstual.
Metode kedua adalah amal ilmiah. Para pembelajar diajarkan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan saat beramal atau melakukan kebaikan. Metode ini juga berfungsi untuk memecahkan masalah berdasarkan teks yang dipelajari. Prinsip pendidikan kontekstual diwujudkan melalui metode amal ilmiah.
Metode ketiga adalah dialog. Ahmad Dahlan sebagai pengajar tidak bersikap dominan dalam proses pembelajaran. Dengan cara ini, para pelajar dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Ia sering mengajak muridnya untuk bersama-sama mencari sumber belajar.